Anak yang gagap sering kali mendapat gertakan, semakin gagap ia semakin sering pula menerima gertakan.
“Bbbbebebe.......bebe.....” Ari yang berusia sembilan tahun itu tak segera dapat meluncurkan kata “betul” dari mulutnya, saat harus menjawab pertanyaan dari gurunya. Yang terdengar kemudian justru teriakan teman-teman di kelasnya dengan bersama-sama melontarkan satu kata, “Dor!”
Ari tertunduk malu, ia tampak tidak berdaya menghadapi gertakan keras yang memotong kata yang hendak diucapkannya. Lebih-lebih ejekan dan suara tawa berseliweran dari teman-teman sekelasnya.
Sayangnya guru di kelas tidak cukup tegas memberikan perlindungan bagi murid yang mengalami gangguan wicara akibat gagap itu. Senyum tipis bahkan tersungging di bibir sang guru, meskipun setelah itu terucap peringatan tanggung, “Ssssttt.... anak-anak tidak boleh begitu. Beri kesempatan Ari untuk menjawab.”
Dengan situasi seperti itu, yang terjadi hampir setiap saat, Ari akhirnya lebih suka menarik diri dari pergaulan. Ia tumbuh sebagai anak yang pemalu, pendiam, dan lebih suka menghabiskan waktunya untuk belajar, sehingga nilai-nilai rapornya selalu bagus. Ari tumbuh sebagai anak laki-laki yang tampan dan cerdas, dengan bakat melukis yang bagus, tetapi gagap saat berbicara
Penyebab Gagap
Menurut William Murphy, seorang peneliti di Departement of Speech, Language and Hearing Science, Purdue University As “gagap terjadi karena adanya kombinasi yang kompleks antara faktor biologis dan kesalahan dalam proses belajar bicara”. Gagap dapat ditandai dengan ciri-ciri suara mulut yang berulang (terjadi repetisi), jaraknya panjang antara satu kata dengan kata berikutnya, atau mengalami blokade ketika akan mengucapkan sebuah kata.
Seorang anak dapat dideteksi mengalami kegagapan jika selama enam bulan atau setahun ia menunjukkan gejalanya terus-menerus. Biasanya dalam keluarga juga terdapat riwayat orang yang sudah lebih dulu mengalami kegagapan. Dalam hal ini biasanya lebih banyak terjadi pada anak laki-laki.
Di Indonesia, kita tidak pernah tahu berapa jumlah orang yang mengalami gagap. Namun, di Negara Paman Sam diperkirakan sekitar 5 persen anak pra sekolah dan 1 persen orang dewasa mengalami gagap. Tingkat kekacauan saat berbicara ini sangat berbeda-beda pada setiap orang yang mengalami kegagapan. Ada yang tingkat kegagapannya tidak terlalu parah, tetapi hal itu sudah bisa menyebabkan penderitanya menarik diri dari pergaulan dan enggan berpartisipasi dalam percakapan karena merasa minder atau rendah diri.
Sering Digertak
Dalam berbagai kesempatan kita bisa menyaksikan bagaimana anak-anak yang sudah mengalami penderitaan akibat gagap dalam berbicara ini, harus semakin tersiksa oleh tingkah laku teman-temannya atau bahkan oleh orang dewasa lain yang tidak cukup bijaksana. Anak-anak ini biasanya digertak sedemikian rupa ketika yang bersangkutan sedang mengalami kesulitan untuk mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Akibatnya, mereka menjadi semakin kecil hati, rendah diri, tidak nyaman, takut dan enggan untuk berbicara.
Menurut National Stuttering Association, AS, penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang gagap berbicara justru lebih sering mengalami gertakan dibandingkan anak-anak lain. Dan semakin buruk kegagapan yang dialami seorang anak, semakin sering pula yang bersangkutan mendapat gertakan.
Dalam buku terbaru keluaran Purdue University berjudul Bullying and Teasing: Helping Children Who Stutter, di mana Murphy juga ikut menulis, dijelaskan bahwa bagi anak-anak yang gagap, gangguan dan gertakan dari teman-temannya justru membuat mereka lebih gelisah dan menderita dibanding gangguan wicara itu sendiri. Mungkin itu pula sebabnya meskipun anak-anak itu sudah mendapatkan terapi wicara dan telah mengalami kemajuan dalam keterampilan berbicara, persoalan tidak dengan sendirinya terlepas dari mereka. Anak-anak itu tetap saja memiliki perasaan negatif tentang dirinya dan kegagapannya, ketika mereka tumbuh semakin besar. Keterampilan mereka berbicara yang boleh jadi sudah tidak memperlihatkan sisa-sisa kegagapan, masih tetap dibayangi oleh rasa malu dan minder, yang diperoleh dari gangguan dan gertakan-gertakan yang telah dialami.
Di sisi lain, orangtua tidak begitu yakin apa yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan jika anak mereka yang gagap mendapat gertakan dan gangguan dari teman-temannya. Sebagian orangtua menyarankan anak-anak supaya membalas gangguan yang diterimanya. Yang lain menganjurkan untuk mengabaikan saja gertakan yang didapat, dan menjauh dari teman-teman yang suka menggertak dan mengganggu.
Namun, menurut Murphy, anak-anak tidak bisa sungguh-sungguh mengabaikan gangguan dan gertakan yang sering diterimanya itu karena memang mereka merasa sangat terganggu.
Melakukan serangan balik terhadap anak-anak atau orang lain yang mengganggu juga tidak menyelesaikan masalah, bahkan mungkin mendatangkan lebih banyak masalah dengan anak-anak yang suka menggertak itu.
Mengatasi kegagapan tidak semudah yang orang sering ucapkan ketika menghadapi anak gagap: “Pokoknya tenang dan kalem saja kalau mau berbicara.” Saran ini mungkin cocok bagi anak-anak yang grogi, tetapi bukan itu yang diperlukan oleh anak yang gagap.
Yang pasti, gagap pada masa anak-anak dapat diatasi dengan terapi wicara.
Terapi yang dilakukan ketika masih kanak-kanak akan lebih mudah meraih keberhasilan dibanding saat yang bersangkutan sudah dewasa. Salah satu contoh orang yang pernah mengalami kegagapan di masa kanak-kanak adalah Winston Churchill.
Untuk mengatasi perasaan negatif serta rasa malu akibat kegagapan yang pernah dialami itu, alangkah baiknya jika anak-anak mendapatkan pendampingan dari psikolog, selama diperlukan. Para guru di sekolah sangat diharapkan kontribusinya agar anak-anak yang gagap tidak menjadi semakin terpuruk oleh ulah teman-temannya, akibat sering menerima ejekan dan gangguan dari mereka.
“Bbbbebebe.......bebe.....” Ari yang berusia sembilan tahun itu tak segera dapat meluncurkan kata “betul” dari mulutnya, saat harus menjawab pertanyaan dari gurunya. Yang terdengar kemudian justru teriakan teman-teman di kelasnya dengan bersama-sama melontarkan satu kata, “Dor!”
Ari tertunduk malu, ia tampak tidak berdaya menghadapi gertakan keras yang memotong kata yang hendak diucapkannya. Lebih-lebih ejekan dan suara tawa berseliweran dari teman-teman sekelasnya.
Sayangnya guru di kelas tidak cukup tegas memberikan perlindungan bagi murid yang mengalami gangguan wicara akibat gagap itu. Senyum tipis bahkan tersungging di bibir sang guru, meskipun setelah itu terucap peringatan tanggung, “Ssssttt.... anak-anak tidak boleh begitu. Beri kesempatan Ari untuk menjawab.”
Dengan situasi seperti itu, yang terjadi hampir setiap saat, Ari akhirnya lebih suka menarik diri dari pergaulan. Ia tumbuh sebagai anak yang pemalu, pendiam, dan lebih suka menghabiskan waktunya untuk belajar, sehingga nilai-nilai rapornya selalu bagus. Ari tumbuh sebagai anak laki-laki yang tampan dan cerdas, dengan bakat melukis yang bagus, tetapi gagap saat berbicara
Penyebab Gagap
Menurut William Murphy, seorang peneliti di Departement of Speech, Language and Hearing Science, Purdue University As “gagap terjadi karena adanya kombinasi yang kompleks antara faktor biologis dan kesalahan dalam proses belajar bicara”. Gagap dapat ditandai dengan ciri-ciri suara mulut yang berulang (terjadi repetisi), jaraknya panjang antara satu kata dengan kata berikutnya, atau mengalami blokade ketika akan mengucapkan sebuah kata.
Seorang anak dapat dideteksi mengalami kegagapan jika selama enam bulan atau setahun ia menunjukkan gejalanya terus-menerus. Biasanya dalam keluarga juga terdapat riwayat orang yang sudah lebih dulu mengalami kegagapan. Dalam hal ini biasanya lebih banyak terjadi pada anak laki-laki.
Di Indonesia, kita tidak pernah tahu berapa jumlah orang yang mengalami gagap. Namun, di Negara Paman Sam diperkirakan sekitar 5 persen anak pra sekolah dan 1 persen orang dewasa mengalami gagap. Tingkat kekacauan saat berbicara ini sangat berbeda-beda pada setiap orang yang mengalami kegagapan. Ada yang tingkat kegagapannya tidak terlalu parah, tetapi hal itu sudah bisa menyebabkan penderitanya menarik diri dari pergaulan dan enggan berpartisipasi dalam percakapan karena merasa minder atau rendah diri.
Sering Digertak
Dalam berbagai kesempatan kita bisa menyaksikan bagaimana anak-anak yang sudah mengalami penderitaan akibat gagap dalam berbicara ini, harus semakin tersiksa oleh tingkah laku teman-temannya atau bahkan oleh orang dewasa lain yang tidak cukup bijaksana. Anak-anak ini biasanya digertak sedemikian rupa ketika yang bersangkutan sedang mengalami kesulitan untuk mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Akibatnya, mereka menjadi semakin kecil hati, rendah diri, tidak nyaman, takut dan enggan untuk berbicara.
Menurut National Stuttering Association, AS, penelitian membuktikan bahwa anak-anak yang gagap berbicara justru lebih sering mengalami gertakan dibandingkan anak-anak lain. Dan semakin buruk kegagapan yang dialami seorang anak, semakin sering pula yang bersangkutan mendapat gertakan.
Dalam buku terbaru keluaran Purdue University berjudul Bullying and Teasing: Helping Children Who Stutter, di mana Murphy juga ikut menulis, dijelaskan bahwa bagi anak-anak yang gagap, gangguan dan gertakan dari teman-temannya justru membuat mereka lebih gelisah dan menderita dibanding gangguan wicara itu sendiri. Mungkin itu pula sebabnya meskipun anak-anak itu sudah mendapatkan terapi wicara dan telah mengalami kemajuan dalam keterampilan berbicara, persoalan tidak dengan sendirinya terlepas dari mereka. Anak-anak itu tetap saja memiliki perasaan negatif tentang dirinya dan kegagapannya, ketika mereka tumbuh semakin besar. Keterampilan mereka berbicara yang boleh jadi sudah tidak memperlihatkan sisa-sisa kegagapan, masih tetap dibayangi oleh rasa malu dan minder, yang diperoleh dari gangguan dan gertakan-gertakan yang telah dialami.
Di sisi lain, orangtua tidak begitu yakin apa yang sebaiknya dan seharusnya dilakukan jika anak mereka yang gagap mendapat gertakan dan gangguan dari teman-temannya. Sebagian orangtua menyarankan anak-anak supaya membalas gangguan yang diterimanya. Yang lain menganjurkan untuk mengabaikan saja gertakan yang didapat, dan menjauh dari teman-teman yang suka menggertak dan mengganggu.
Namun, menurut Murphy, anak-anak tidak bisa sungguh-sungguh mengabaikan gangguan dan gertakan yang sering diterimanya itu karena memang mereka merasa sangat terganggu.
Melakukan serangan balik terhadap anak-anak atau orang lain yang mengganggu juga tidak menyelesaikan masalah, bahkan mungkin mendatangkan lebih banyak masalah dengan anak-anak yang suka menggertak itu.
Mengatasi kegagapan tidak semudah yang orang sering ucapkan ketika menghadapi anak gagap: “Pokoknya tenang dan kalem saja kalau mau berbicara.” Saran ini mungkin cocok bagi anak-anak yang grogi, tetapi bukan itu yang diperlukan oleh anak yang gagap.
Yang pasti, gagap pada masa anak-anak dapat diatasi dengan terapi wicara.
Terapi yang dilakukan ketika masih kanak-kanak akan lebih mudah meraih keberhasilan dibanding saat yang bersangkutan sudah dewasa. Salah satu contoh orang yang pernah mengalami kegagapan di masa kanak-kanak adalah Winston Churchill.
Untuk mengatasi perasaan negatif serta rasa malu akibat kegagapan yang pernah dialami itu, alangkah baiknya jika anak-anak mendapatkan pendampingan dari psikolog, selama diperlukan. Para guru di sekolah sangat diharapkan kontribusinya agar anak-anak yang gagap tidak menjadi semakin terpuruk oleh ulah teman-temannya, akibat sering menerima ejekan dan gangguan dari mereka.
Daftar Pustaka :
Saraswati, Widya. Anak Gagap Jangan Digertak. www.nasional.kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar