Rabu, 26 Mei 2010

Susahnya Mengontrol Buang Air Kecil (Enuresis)


Enuresis merupakan suatu kondisi dimana seorang anak tidak mampu menahan untuk buang air kecil (mengompol) baik di malam hari (disebut enuresis nocturnal atau primary nocturnal enuresis) maupun di siang hari (disebut enuresis diurnal). Enuresis nokturnal merupakan suatu kondisi dimana seorang anak tidak mampu menahan buang air kecil namun tetap mengompol pada malam hari saat tertidur. Syarat enuresis adalah anak berusia 5 tahun ke atas yang mengompol setidaknya 1-2 kali seminggu minimal dalam 3 bulan. Namun, ada juga yang menyebutkan enuresis nocturnal primer adalah suatu keadaan dimana anak sudah mampu menahan buang air kecil atau baru bias menahan buang air kecil tidak lebih dai 6 bulan berturut-turut sebelum enuresis mulai terjadi pada anak.

Untuk membedakan enuresis nokturnal dan diurnal, International Children’s Continence Society mempublikasikan standardisasi terminologi enuresis. International Children’s Continence Society mendefinisikan enuresis sebagai segala bentuk gejala mengompol yang terjadi dalam jumlah diskret pada malam hari, terlepas apakah hal tersebut berhubungan/tidak dengan gejala mengompol di siang hari. Hal ini perlu dibedakan dengan inkontinensia yang didefinisikan sebagai kebocoran urin tak terkendali yang terjadi secara intermiten atau kontinu dan terjadi setelah status kontinensia pernah tercapai. Inkontinensia kontinu berarti kebocoran urin konstan, seperti pada anak dengan ureter ektopik atau kerusakan iatrogenik pada sfingter eksterna. Sedangkan inkontinensia intermitten adalah kebocoran urin dalam jumlah diskret selama siang, malam, atau keduanya. Bentuk inkontinensia intermitten yang terjadi minimal di malam hari inilah yang mereka istilahkan dengan enuresis. Mereka juga menyebutkan bahwa kebocoran urin yang terjadi selama siang hari tidak lagi disebut sebagai enuresis diurnal tetapi sekarang disebut sebagai inkontinensia pada siang hari. Istilah lain yang perlu dibedakan dengan enuresis adalah dysfunctional voiding dimana terdapat inkompetensi kontraksi otot untuk menahan urin dan biasanya dihubungkan dengan konstipasi. Istilah ini juga merujuk pada sindroma eliminasi disfungsional.

Berdasarkan derajat penyakit, enuresis nokturnal terbagi menjadi derajat ringan (enuresis pada 1-6 malam di bulan terakhir), derajat sedang (enuresis pada 7 malam atau lebih di bulan terakhir dan tidak setiap malam), dan derajat berat (enuresis setiap malam). Sedangkan berdasarkan jumlah gejala yang dikeluhkan, enuresis dapat dibagi menjadi tipe monosimptomatik dan non-monosimptomatik. Anak dengan enuresis monosimptomatik hanya mengompol di malam hari dan tidak ada gejala inkontinensia pada siang hari. Sedangkan anak dengan enuresis non-monosimptomatik mengalami inkontinensia pada siang hari selain mengompol di malam hari. Enuresis non-monosimptomatik ini lebih sering terjadi karena kebanyakan pasien biasanya pernah mengalami gejala inkontinensia pada siang hari tetapi seringkali tidak cukup bermakna (subtle) untuk dikeluhkan. Hal ini baru diketahui jika anamnesis dilakukan dengan teliti.

Berdasarkan jelas/tidaknya penyebab, enuresis juga dapat dibagi menjadi enuresis primer dan enuresis sekunder. Enuresis primer didiagnosis pada individu yang belum pernah mengalami status kontinensia sejak lahir atau mengalami status kontinensia tidak lebih dari 6 bulan berturut-turut. Sedangkan enuresis sekunder didiagnosis pada individu yang telah mengalami periode kontinensia minimal 6 bulan berturut-turut sebelum onset enuresis. Manifestasi klinis enuresis primer yang sama dengan enuresis sekunder menunjukkan adanya kesamaan patogenesis umum pada kedua jenis enuresis tersebut. Oleh karena luasnya cakupan pembahasan mengenai enuresis sekunder yang merupakan akibat atau bagian dari gambaran klinis penyakit lain, makalah tinjauan pustaka ini akan lebih banyak menitikberatkan pembahasan enuresis primer yang bersifat monosimptomatik.


Faktor Risiko, Etiologi dan Patofisiologi

Beberapa faktor risiko yang terbukti berkaitan dengan enuresis derajat berat adalah inkontinensia pada siang hari, enkopresis, disfungsi kandung kemih dan jenis kelamin laki-laki. Sedangkan stress emosional dan masalah sosial dikaitkan dengan enuresis nokturnal derajat sedang. Enuresis dilaporkan terdapat pada sekitar 18,5% anak-anak yang bersekolah di siang hari dan pada sekitar 11,5% anak-anak yang ‘bersekolah’ di rumah. Prevalensi enuresis meningkat pada anak yang tinggal di desa, dengan pendapatan rendah dan dengan riwayat keluarga enuresis. Setelah dilakukan analisis multivariat, riwayat infeksi saluran kemih, usia, pendapatan bulanan rendah dan riwayat keluarga enuresis adalah faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan enuresis. Sekitar 46,4% orang tua dan 57,1% anak dengan enuresis memberikan perhatiannya terhadap dampak dari enuresis ini.

Seorang dokter harus menyadari bahwa PNE adalah diagnosis ‘keranjang sampah’ dan semua penyebab mengompol yang lain harus disingkirkan terlebih dahulu. Penyebab-penyebab enuresis sekunder antara lain neurogenic bladder dan kelainan medula spinalis lain yang terkait, infeksi saluran kemih, adanya katup uretra posterior pada laki-laki atau ureter ektopik pada perempuan.

Enuresis dapat terjadi tanpa sebab yang jelas atau idiopatik. Jika hal ini didapati, faktor patofisiologik yang patut diduga adalah gangguan bangun tidur, poliuria nokturnal, dan kapasitas nokturnal kandung kemih yang kurang. Gangguan bangun tidur adalah kondisi dimana anak tidak terbangun oleh rangsang suara yang biasanya direspon oleh anak normal, sehingga pada kasus enuresis, diduga anak tidak terbangun oleh distensi kandung kemih oleh urin. Sedangkan poliuria nokturnal adalah buang air kecil berlebihan pada malam hari yang ditentukan oleh faktor-faktor seperti jumlah makanan/cairan yang dikonsumsi sebelum tidur, sekresi antidiuretic hormone (ADH) yang rendah pada malam hari, peningkatan ekskresi cairan pada malam hari, dan kelebihan asupan kafein. Sedangkan kapasitas fungsional kandung kemih yang rendah dikaitkan dengan dengan banyaknya keluaran urin pada malam hari. Hal in terjadi karena anak dengan enuresis memiliki volume kandung kemih nokturnal yang lebih kecil. Selain itu, otot detrusor anak juga mengontraksikan kandung kemih ke volume yang lebih kecil lagi pada malam hari.


Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Evaluasi enuresis nokturnal dimulai dengan anamnesis. Penting untuk menentukan apakah enuresis merupakan primer atau sekunder. Pola enuresis juga harus ditentukan, yaitu mencakup berapa malam per minggu dan berapa kali (episode) per malam. Pola asupan cairan malam hari harus dicatat, demikian pula asupan kafein jika ada.

Anamnesis harus mencakup pertanyaan mengenai poliuria, polidipsia, urgensi, frekuensi, disuria, kelainan aliran urin, riwayat infeksi saluran kemih, mengompol spontan, dan keluhan saluran cerna (15% anak dengan enuresis juga mengalami enkopresis). Riwayat gangguan tidur seperti sleep apnea atau insomnia dan riwayat neurologik maupun perkembangan harus ditanyakan. Riwayat keluarga juga membantu investigasi enuresis.

Pemeriksaan fisik harus mencakup palpasi abdomen untuk menilai ada/tidaknya massa tinja, pemeriksaan tulang belakang segmen bawah untuk menilai ada/tidaknya stigmata kutaneus disrafisme spinalis (pigmentasi pada linea vertebralis), penilaian jepitan anus, dan evaluasi kekuatan motorik, tonus, refleks, dan sensasi di tungkai untuk membuktikan ada/tidaknya neurogenic bladder. Anak-anak yang mengalami gejala mengompol di siang hari atau tidak membaik dengan terapi harus dirujuk ke dokter spesialis anak.


Pemeriksaan Penunjang

Urinalisis adalah pemeriksaan yang paling penting untuk skrining anak dengan enuresis. Anak-anak dengan sistitis biasanya memiliki bukti adanya leukosit atau bakteri pada urinalisis mikroskopik. Anak-anak dengan overactive bladder atau dysfunctional voiding, obstruksi uretra, neurogenic bladder, ureter ektopik, atau diabetes melitus merupakan predisposisi terjadinya sistitis. Jika ditemukan bukti sistitis pada urinalisis, urin harus dikirim untuk kultur dan uji sensitifitas. Obstruksi uretra dihubungkan dengan adanya sel darah merah pada urin. Adanya glukosa menunjukkan kemungkinan diabetes melitus. Pengambilan urin acak atau urin pagi hari dengan berat jenis lebih dari 1,020 menyingkirkan diabetes insipidus. Pemeriksaan darah pada pasien enuresis biasanya tidak dibutuhkan kecuali dicurigai ada kondisi lain yang menjadi indikasi pemeriksaan tersebut.



Daftar Pustaka :

www.imsj.globalkrching.com

Tidak ada komentar: