Senin, 16 Mei 2011

STRES

Istilah stres dikemukakan oleh Hans Selye (dalam Sehnert, 1981) yang mendefinisikan stres sebagai respon yang tidak spesifik dari tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya. Dengan kata lain istilah stres dapat digunakan untuk menunjukkan suatu perubahan fisik yang luas yang disulut oleh berbagai faktor psikologis atau faktor fisik atau kombinasi kedua faktor tersebut. Selye mengidentifikasikan tiga tahap dalam respon sistemik tubuh terhadap kondisi-kondisi penuh stress, yang diistilahkan General Adaptation Syndrome (GAS), yaitu:
a. Alarm Reaction dari sistem saraf otonom, termasuk di dalamnya peningkatan sekresi adrenalin, detak jantung, tekanan darah dan otot menegang. Tahap ini bisa diartikan sebagai pertahanan tubuh.
b. Resitance atau adaptasi, yang didalamnya termasuk berbagai macam respon coping secara fisik.
c. Exhaustion atau kelelahan, akan terjadi kemudian apabila stresor datang secara intens dan dalam jangka waktu yang cukup lama, dan jika usaha-usaha perlawanan gagal untuk menyelesaikan secara adekuat.
Psychological stress terjadi ketika individu menjumpai kondisi lingkungan yang penuh stres sebagai ancaman yang secara kuat menantang atau melampaui kemampuan copingnya (Lazarus dalam Holahan, 1981). Sebuah situasi dapat terlihat sebagai suatu ancaman dan berbahaya secara potensial apabila melibatkan hal yang memalukan, kehilangan harga diri, kehilangan pendapatan dan seterusnya (dalam Heimstra & McFarling, 1978).

Respon Stres
Taylor (1991) menyatakan, stres dapat menghasilkan berbagai respon. Berbagai peneliti telah membuktikan bahwa respon-respon tersebut dapat berguna sebagai indikator terjadinya stres pada individu, dan mengukur stres yang dialami individu. Respon stres dapat terlihar dalam berbagai aspek, yaitu:
• Respon fisiologis; dapat ditandai dengan meningkatnya tekanan darah, detak jantung, detak nadi dan sistem pernapasan
• Respon kognitif; dapat terlihat lewat terganggungnya proses kognitif individu, seperti pikiran menjadi menjadi kacau, menurunnya daya konsentrasi, pikiran berulang dan pikiran tidak wajar.
• Respon emosi; dapat muncul sangat luas, menyangkut emosi yang mungkin dialami individu, seperti takut, cemas, malu, marah dan sebagainya.
• Respon tingkah laku; dapat dibedakan menjadi fight, yaitu melawan situasi yang menekan dan flight, yaitu menghindari situasi yang menekan.

Sumber Stres (Stressor)
Lazarus dan Cohen (dalam Evans, 1982) mengemukakan bahwa terdapat tiga kelompok sumber stres, yang pertama adalah fenomena catalismic yaitu hal-hal atau kejadian-kejadian yang tiba-tiba, khas dan kejadian yang menyangkut banyak orang seperti bencana alam, perang, banjir dan sebagainya. Kedua, kejadian-kejadian yang memerlukan penyesuian atau coping seperti pada fenomena catalismic meskipun berhubungan dengan orang yang lebih sedikit seperti respon seseorang terhadap penyakit atau kematian. Yang ketiga adalah daily hassles yaitu masalah yang sering dijumpai di dalam kehidupan sehari-hari yang menyangkut ketidakpuasan keja atau masalah-masalah lingkungan seperti kesesakan atau kebisingan karena polusi.

STRES LINGKUNGAN DAN COPING BEHAVIOR
Lazarus dan Folkman (dalam Baron dan Byrne, 1991) mengidentifikasikan stres lingkungan sebagai ancaman-ancaman yang datang dari dunia sekitar. Setiap individu selalu mencoba untuk coping dan beradaptasi dengan ketakutan, kecemasan dan kemarahan yang dimilikinya.
Baum, Singer dan Baum (dalam Evans, 1982) mengartikan stres lingkungan dalam tiga faktor, yaitu :
1. Stresor fisik (misalnya; suara)
2. Penerimaan individu terhadap stresor yang dianggap sebagai ancaman (appraisal of the stressor).
3. Dampak stresor pada organism (dampak fisiologis)
Fontana (1989) menyebutkan bahwa sumber utama dari stres di dalam dan di sekitar rumah adalah sebagai berikut :
a. Stres karena teman kerja (partner)
b. Stres karena anak-anak
c. Stres karena pengaturan tempat tinggal setempat
d. Tekanan-tekanan lingkungan
Coping Behavior
Ketika seseorang mempersepsikan lingkungannya terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, rangsang-rangsang yang dipersepsikan tersebut akan berada pada dalam batas-batas optimal sehingga akan timbul kondisi keseimbangan (homeostatis). Kedua, rangsang-rangsang tersebut berada di atas batas optimal (overstimulation) atau dibawahnya (understimulation). Akibat dari kemungkinan kedua ini adalah stres sehingga manusia harus melakukan perilaku penyesuaian diri (coping behavior). Dalam kaitan antara manusia dengan lingkungan fisiknya, maka terdapat dua jenis perilaku penyesuaian diri (coping behavior) yaitu adaptasi dan adjustment. Adaptasi adalah mengubah tingkah laku agar sesuai dengan lingkungannya, sementara adjustment adalah mengubah lingkungan agar menjadi sesuai dengan perilakunya (Sarwono, 1992).
Coping Behavior dan Kepadatan. Kepadatan tinggi merupakan stresor lingkungan yang dapat menimbulkan kesesakan bagi individu yang berada di dalamnya (Holahan, 1982). Stresor lingkungan, menurut Stokols (dalam Brigham, 1991) merupakan salah satu aspek lingkungan yang dapat menyebabkan stres, penyakit atau akibat-akibat negatif pada perilaku masyarakat. Stokols (dalam Brigham, 1991) lebih lanjut mengatakan bahwa apabila kesesakan tidak dapat diatasi, maka akan menyebabkan stres pada individu. Stres yang dialami individu dapat memberikan dampak yang berbeda tergantung pada kemampuan individu dalam menghadapi stres. Individu yang mengalami stres umumnya tidak dapat mampu melakukan interaksi sosial dengan baik, sehingga dapat menurunkan perilaku untuk membantu orang lain.
Coping Behavior dan Kesesakan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bharucha-Reid dan Kiyak (1982) menyatakan bahwa keadaan yang sesak tidak selalu dipersepsi negatif dan tidak selalu menimbulkan keadaan stres karena perasaan sesak pada setiap orang tidak sama tingkatnya, tergantung dari tingkat privasi yang dicapai masing-masing individu tersebut.

Contoh Stres
Saya memiliki tetangga dengan inisial H, ia merupakan seorang pemuda. H memiliki satu kakak laki-laki dan adik perempuan. Sekitar 4 tahun yang lalu ia mengalami pemutusan kerja di perusahaan tempat ia bekerja. Semenjak itu, H berada di rumah dengan membantu kedua orang tuanya berjualan sambil mencoba melamar ke perusahaan-perusahaan lain. Namun, lamaran-lamaran yang ia ajukan tersebut tidak kunjung membuahkan hasil sehingga ia hanya bisa membantu kedua orangtuanya berjualan dengan hasil pendapatan yang seadaanya. Mungkin karena ia terbiasa bekerja di perusahaan, ketika dihadapkan untuk berjualan, ia banyak melakukan kesalahan sehingga tidak jarang ia mendapatkan omelan dari kedua orangtuanya. Selain itu, ketika kakak laki-lakinya sedang datang berkunjung (kebetulan sang kakak sudah menikah dan tinggal terpisah), mereka sering berselisih pendapat. Entah karena mendapat tekanan dari kedua orangtua, kakak laki-laki ataupun tekanan-tekanan psikologis lainnya, H sering berkeluh kesah sendiri (saya merasa ia tidak memiliki tempat untuk mengeluarkan segala isi hatinya). Kejadian itu menjadi semakin sering sehingga sampai saat ini, ketika ia berjalan dari rumah ke tempat orang tuanya berjualan (jaraknya cukup dekat), H sering berbicara dan tertawa sendiri seolah-olah memiliki teman halusinasi. Selain itu, ia sering berjalan sambil makan dan keadaan tubuhnyapun semakin kurus. Hal ini sangat kontras dengan keadaanya ketika ia masih bekerja di perusahaan. Ketika itu, badannya lumayan berisi dan sering menegur orang lain ketika berpapasan. Namun demikian, H masih bisa berkomunikasi dengan baik ketika diajak berbicara.

Daftar Pustaka :
www.rumahbelajarpsikologi.com/stres
Prabowo, Hendro. 1998. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Depok : Universitas Gunadarma.

Tidak ada komentar: