Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi tang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetetive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:
· interaksi sosial
· komunikasi (bahasa dan bicara)
· perilaku emosi
· pola bermain
· gangguan sensorik dan motorik
· perkembangan terlambat atau tidak normal
Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun. Gejala-gejala yang lebih spesifik yaitu anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya.
Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.
1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.
2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu
Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:
· Childhood Autism Rating Scale (CARS) : skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal
· The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT) : berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
· The Autism Sreening Questionare adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka
· The Screening Test for Autism in Two-Years Old : tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.
Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan membutuhkan observasi yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurology, psikolog, pediatric, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.
Perkembangan Penelitian Autisme
Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model psikodianmika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations (Rimland, 1964). Namun demikian model psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan (Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:
· Rimland(1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.
· Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.
· Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Glenn Doman.
· Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.
Hingga saat ini terdapat banyak program intervensi perilaku bagi anak dengan autisme, setiap program memiliki berbagai variasi dan pengembangan-pengembangan sendiri sesuai dengan penelitian-penelitan dilakukan. Perkembangan studi mengenai autisme kemudian disampaikan oleh Rogers, Sally J., sebagaimana disebutkan di bawah ini:
· 1960s Heavy emphasis on causes of autism, correlates of autism
· 1970s Heavy emphasis on assessment, diagnosis: emerging literature on treatment
· 1980s Heavy emphasis on functional assessment and treatment, school-based services
· 1990s Heavy emphasis on social interventions, assessment, school-based services
· 2000s Litigation, school-based services
Terapi Bagi Individu dengan Autisme
Berikut ini Treatment-treatmen yang diakui, yaitu :
· Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
· Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
· TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).
· Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).
· Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory /pendengaran.
· Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti
· Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
· Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), Sensory Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration Training AIT.
Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.
Penanganan Autisme di Indonesia
Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di
1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di
2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak
3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua.
4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.
5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Emprically Validated Treatments/EVT)dari penanganan-penanganan masalah autisme di
Contoh Kasus :
Saya punya sebuah buku bacaan atau semacam novel, judulnya Tumbuh di Tengah Badai. Novel ini bercerita tentang seorang ibu yang berjuang sekuat tenaga untuk membesarkan anaknya yang autis, tidak hanya membesarkan tetapi juga berusaha untuk meyakinkan masyarakat bahkan keluarganya sendiri untuk mau menerima anaknya yang autis tersebut.
Anak autis itu bernama Catra. Awal kelahirannya, Catra tidak mengalami tanda-tanda yang aneh baik dari segi fisik maupun psikologis walaupun Catra terlahir sebagai bayi prematur. Beberapa bulan kemudian Catra sering sakit meskipun tidak pernah kejang, hampir dua minggu sekali catra dibawa oleh kedua keluarganya untuk berobat. Saat Catra berumur 4-5 bulan ada suatu kebiasaan, tiap kali Catra mendengar suara adzan ia akan menghentikan aktivitasnya, ia akan terdiam layaknya patung, selain itu ia juga menyukai segala hal yang bernuansa islam. Ketika sudah mulai berjalan gerakan-gerakan Catra menjadi tak terkendali yang sering kali membuat Catra terjatuh, walau sering terjatuh tetapi ia jarang sekali menangis. Jika jatuhnya itu terasa sakit ia hanya merengek sebentar kemudian bermain lagi layaknya tidak pernah terjadi apa-apa. Suatu ketika Catra berlari kearah mesin cuci saat itu pembantu dirumahnya sedang mencuci pakaian, Catra duduk disamping mesin cuci dan mendengarkan degungannya. Catra sangat senang mendengarkan suara-suara.
Seiring dengan pertumbuhannya, Catra mulai tidak tertarik dengan orang-orang sekitarnya, karena ia tidak nyaman dengan suara ramai. Ocehannyapun sering membuat orang-orang dirumah bingung, ketika dipanggil ia tidak mau menoleh seolah-olah tidak mendengar namanya dipanggil. Hal ini membuat kedua orangtuanya bingung kemudian membawa Catra keahli saraf serta melakukan tes darah yang menyatakan bahwa Catra terdeteksi adanya pengapuran. Catra pernah mengalami peradangan otak akibat terinfeksi Citomegalovirus, meskipun peradangan tersebut berlalu, tetapi kerusakan permanent pada beberapa bagian saraf otak yang diakibatkannya sudah tidak mungkin untuk bisa diperbaiki.
Waktupun berlalu Catra sudah harus sekolah, lagi-lagi orangtuanya mengalami dilema, kemana anaknya harus disekolahkan dengan keterbatasan seperti itu. Bagaimana orang-orang disekitar mau menerima segala sikap “aneh” Catra. Namun, ada juga sekolah yang mau menerima Catra, sekolah ini sekolah umum. Catra mulai sekolah namun tidak jarang pula Catra mengalami ejekan dan tertawaan dari teman-temannya. Sebagai contoh, ada salah satu teman sekelasnya ulang tahun kemudian merayakan ulang tahunnya tersebut disekolah, ada yang memecahkan balon, Catra ketakutan dan duduk dipojok ruangan sambil mengoceh hal-hal yang tidak dapat dimengerti sehingga membuat teman-teman menertawakannya, kelaspun menjadi gaduh. Setelah guru-guru dan teman-teman diberikan pengertian oleh kedua orangtua Catra bahwa Catra mengalami gangguan, mereka mulai mengerti dan mau menerima segala macam bentuk perilaku Catra.
Kemudian Catrapun mulai melakukan terapi-terapi, dengan kesabaran dari kedua orang tua terutama si ibu yang pada awalnya berjuang sendirian meyakinkan suami, kedua anaknya yang lain bahwa Catra mampu melakukan segala macam aktivitas walau terkadang membutuhkan kesabaran ekstra. Meyakinkan bahwa Catra bukanlah makhluk Alien yang berasal dari dunia yang berbeda, meyakinkan bhwa Catra sama seperti manusia yang lain. Dengan dukungan dari kedua orangtua, kedua kakaknya dan orang-orang disekitar Catra mulai dapat berinteraksi dan mampu menyesuaikan diri walau terkadang jelas terlihat kaku. Dilema kembali muncul kepada kedua orangtua ketika Catra sangat ingin kuliah jogja, karena dari SD sampai SMA Catra bersekolah disekolah yang sama yang tentu sudah sangat membuatnya terbiasa. Catra sangat menyukai benda-benda bersejarah yang banyak bertebaran di jogja, itu alasannya mengapa Catra sangat ingin kuliah disana.
Saat pengumuman kelulusan masuk universitas di jogja echolalia-nya kumat, Catra berulang kali mengatakan kepada kedua orangtuanya perkataan yang hampir sama untuk melihat hasil kelulusan melalui internet karena pada saat itu dirinya sedang di asramakan untuk mengikuti ujian masuk di UI. Hasil kelulusanpun menyatakan bahwa Catra dinyatakan lulus sesuai dengan jurusan yang dia sukai. Dengan keyakinan yang kuat Catra meyakinkan kedua oarngtuanya bahwa ia akan baik-baik saja tinggal sendirian di jogja walau selama ini ia selalu didampingi oleh mereka dan kedua kakaknya dalam berbagai macam situsi. Meski ada ketakuatan dalam dirinya, ia berusaha menenangkan dirinya. Catra meyeberangi jalan menuju masjid kampusnya, ia berdoa disana ketika harus berpisah dengan ibunya yang sangat itu mengantarkan untuk pendaftaran kuliah di jogja. Ibunya pun yakin Catra akan baik-baik saja karena Tuhan akan menjaga dan melindungi Catra.
Kesimpulan :
Autisme tidak menghalangi kesuksesan seseorang. Dengan memberikan dukungan dan kepercayaan penuh kepada penderita Autis, ia akan tumbuh layaknya manusia lain yang tidak kekurangan suatu hal apapun. Yakinlah bahwa Tuhan tidak akan pernah meninggalkan umatnya yang sedang mengalami kesulitan dan tidak akan memberikan suatu cobaan diluar batas kemampuan umat-NYA. Indah pada waktunya.
Sumber Referensi
www.wikipedia.com
Moechiam, Herniwatty. 2009. Tumbuh di Tengah Badai.
1 komentar:
dunia yang "repetativ" itu yg bgmn?
Posting Komentar