Senin, 15 Februari 2010

What Is Autisme??


Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi tang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetetive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:

· interaksi sosial

· komunikasi (bahasa dan bicara)

· perilaku emosi

· pola bermain

· gangguan sensorik dan motorik

· perkembangan terlambat atau tidak normal

Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun. Gejala-gejala yang lebih spesifik yaitu anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi, beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising, cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan yang menjadi kesukaan mereka.

Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat sekalipun.

1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.

2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan peristiwa-peristiwa yang terjadi.

3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.

4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.

5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu

Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak 'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu penyandangnya.

Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:

· Childhood Autism Rating Scale (CARS) : skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang, penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan komunikasi verbal

· The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT) : berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon Baron Cohen di awal tahun 1990-an.

· The Autism Sreening Questionare adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan sosial mereka

· The Screening Test for Autism in Two-Years Old : tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.

Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan membutuhkan observasi yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurology, psikolog, pediatric, paedagog, patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.


Perkembangan Penelitian Autisme

Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model psikodianmika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations (Rimland, 1964). Namun demikian model psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan (Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur, dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan target-target khusus lainnya, seperti:

· Rimland(1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti: pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang menurutnya mengarah pada faktor biologis.

· Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil pekerjaannya tersebut.

· Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris Pengaruh ini kemudian berkembang pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Glenn Doman.

· Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA. Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal psikologi.

Hingga saat ini terdapat banyak program intervensi perilaku bagi anak dengan autisme, setiap program memiliki berbagai variasi dan pengembangan-pengembangan sendiri sesuai dengan penelitian-penelitan dilakukan. Perkembangan studi mengenai autisme kemudian disampaikan oleh Rogers, Sally J., sebagaimana disebutkan di bawah ini:

· 1960s Heavy emphasis on causes of autism, correlates of autism

· 1970s Heavy emphasis on assessment, diagnosis: emerging literature on treatment

· 1980s Heavy emphasis on functional assessment and treatment, school-based services

· 1990s Heavy emphasis on social interventions, assessment, school-based services

· 2000s Litigation, school-based services


Terapi Bagi Individu dengan Autisme

Berikut ini Treatment-treatmen yang diakui, yaitu :

· Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA) yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.

· Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.

· TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped Children).

· Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif, melukai diri sendiri, dsb.).

· Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory /pendengaran.

· Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.

· Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.

· Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT), Sensory Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration Training AIT.

Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan; okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.


Penanganan Autisme di Indonesia

Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia diantaranya adalah:

1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam proses interverensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak mereka sendiri.

2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.

3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.

4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah untuk menyelenggarakan inklusi.

5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Emprically Validated Treatments/EVT)dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah autisme di Indonesia.


Contoh Kasus :

Saya punya sebuah buku bacaan atau semacam novel, judulnya Tumbuh di Tengah Badai. Novel ini bercerita tentang seorang ibu yang berjuang sekuat tenaga untuk membesarkan anaknya yang autis, tidak hanya membesarkan tetapi juga berusaha untuk meyakinkan masyarakat bahkan keluarganya sendiri untuk mau menerima anaknya yang autis tersebut.

Anak autis itu bernama Catra. Awal kelahirannya, Catra tidak mengalami tanda-tanda yang aneh baik dari segi fisik maupun psikologis walaupun Catra terlahir sebagai bayi prematur. Beberapa bulan kemudian Catra sering sakit meskipun tidak pernah kejang, hampir dua minggu sekali catra dibawa oleh kedua keluarganya untuk berobat. Saat Catra berumur 4-5 bulan ada suatu kebiasaan, tiap kali Catra mendengar suara adzan ia akan menghentikan aktivitasnya, ia akan terdiam layaknya patung, selain itu ia juga menyukai segala hal yang bernuansa islam. Ketika sudah mulai berjalan gerakan-gerakan Catra menjadi tak terkendali yang sering kali membuat Catra terjatuh, walau sering terjatuh tetapi ia jarang sekali menangis. Jika jatuhnya itu terasa sakit ia hanya merengek sebentar kemudian bermain lagi layaknya tidak pernah terjadi apa-apa. Suatu ketika Catra berlari kearah mesin cuci saat itu pembantu dirumahnya sedang mencuci pakaian, Catra duduk disamping mesin cuci dan mendengarkan degungannya. Catra sangat senang mendengarkan suara-suara.

Seiring dengan pertumbuhannya, Catra mulai tidak tertarik dengan orang-orang sekitarnya, karena ia tidak nyaman dengan suara ramai. Ocehannyapun sering membuat orang-orang dirumah bingung, ketika dipanggil ia tidak mau menoleh seolah-olah tidak mendengar namanya dipanggil. Hal ini membuat kedua orangtuanya bingung kemudian membawa Catra keahli saraf serta melakukan tes darah yang menyatakan bahwa Catra terdeteksi adanya pengapuran. Catra pernah mengalami peradangan otak akibat terinfeksi Citomegalovirus, meskipun peradangan tersebut berlalu, tetapi kerusakan permanent pada beberapa bagian saraf otak yang diakibatkannya sudah tidak mungkin untuk bisa diperbaiki.

Waktupun berlalu Catra sudah harus sekolah, lagi-lagi orangtuanya mengalami dilema, kemana anaknya harus disekolahkan dengan keterbatasan seperti itu. Bagaimana orang-orang disekitar mau menerima segala sikap “aneh” Catra. Namun, ada juga sekolah yang mau menerima Catra, sekolah ini sekolah umum. Catra mulai sekolah namun tidak jarang pula Catra mengalami ejekan dan tertawaan dari teman-temannya. Sebagai contoh, ada salah satu teman sekelasnya ulang tahun kemudian merayakan ulang tahunnya tersebut disekolah, ada yang memecahkan balon, Catra ketakutan dan duduk dipojok ruangan sambil mengoceh hal-hal yang tidak dapat dimengerti sehingga membuat teman-teman menertawakannya, kelaspun menjadi gaduh. Setelah guru-guru dan teman-teman diberikan pengertian oleh kedua orangtua Catra bahwa Catra mengalami gangguan, mereka mulai mengerti dan mau menerima segala macam bentuk perilaku Catra.

Kemudian Catrapun mulai melakukan terapi-terapi, dengan kesabaran dari kedua orang tua terutama si ibu yang pada awalnya berjuang sendirian meyakinkan suami, kedua anaknya yang lain bahwa Catra mampu melakukan segala macam aktivitas walau terkadang membutuhkan kesabaran ekstra. Meyakinkan bahwa Catra bukanlah makhluk Alien yang berasal dari dunia yang berbeda, meyakinkan bhwa Catra sama seperti manusia yang lain. Dengan dukungan dari kedua orangtua, kedua kakaknya dan orang-orang disekitar Catra mulai dapat berinteraksi dan mampu menyesuaikan diri walau terkadang jelas terlihat kaku. Dilema kembali muncul kepada kedua orangtua ketika Catra sangat ingin kuliah jogja, karena dari SD sampai SMA Catra bersekolah disekolah yang sama yang tentu sudah sangat membuatnya terbiasa. Catra sangat menyukai benda-benda bersejarah yang banyak bertebaran di jogja, itu alasannya mengapa Catra sangat ingin kuliah disana.

Saat pengumuman kelulusan masuk universitas di jogja echolalia-nya kumat, Catra berulang kali mengatakan kepada kedua orangtuanya perkataan yang hampir sama untuk melihat hasil kelulusan melalui internet karena pada saat itu dirinya sedang di asramakan untuk mengikuti ujian masuk di UI. Hasil kelulusanpun menyatakan bahwa Catra dinyatakan lulus sesuai dengan jurusan yang dia sukai. Dengan keyakinan yang kuat Catra meyakinkan kedua oarngtuanya bahwa ia akan baik-baik saja tinggal sendirian di jogja walau selama ini ia selalu didampingi oleh mereka dan kedua kakaknya dalam berbagai macam situsi. Meski ada ketakuatan dalam dirinya, ia berusaha menenangkan dirinya. Catra meyeberangi jalan menuju masjid kampusnya, ia berdoa disana ketika harus berpisah dengan ibunya yang sangat itu mengantarkan untuk pendaftaran kuliah di jogja. Ibunya pun yakin Catra akan baik-baik saja karena Tuhan akan menjaga dan melindungi Catra.

Kesimpulan :

Autisme tidak menghalangi kesuksesan seseorang. Dengan memberikan dukungan dan kepercayaan penuh kepada penderita Autis, ia akan tumbuh layaknya manusia lain yang tidak kekurangan suatu hal apapun. Yakinlah bahwa Tuhan tidak akan pernah meninggalkan umatnya yang sedang mengalami kesulitan dan tidak akan memberikan suatu cobaan diluar batas kemampuan umat-NYA. Indah pada waktunya.


Sumber Referensi

www.wikipedia.com

Moechiam, Herniwatty. 2009. Tumbuh di Tengah Badai. Yogyakarta : Bentang Pustaka

Disleksia


Disleksia adalah sebuah kondisi ketidakmampuan belajar pada seseorang yang disebabkan oleh kesulitan pada orang tersebut dalam melakukan aktivitas membaca dan menulis. Perkataan disleksia berasal dari bahasa Yunani δυς- dys- ("kesulitan untuk") dan λέξις lexis ("huruf" atau "leksikal"). Pada umumnya keterbatasan ini hanya ditujukan pada kesulitan seseorang dalam membaca dan menulis, akan tetapi tidak terbatas dalam perkembangan kemampuan standar yang lain seperti kecerdasan, kemampuan menganalisa dan juga daya sensorik pada indera perasa.

Terminologi disleksia juga digunakan untuk merujuk kepada kehilangan kemampuan membaca pada seseorang dikarenakan akibat kerusakan pada otak. Disleksia pada tipe ini sering disebut sebagai "Alexia". Selain mempengaruhi kemampuan membaca dan menulis, disleksia juga ditenggarai juga mempengaruhi kemampuan berbicara pada beberapa pengidapnya. Disleksia tidak hanya terbatas pada ketidakmampuan seseorang untuk menyusun atau membaca kalimat dalam urutan terbalik tetapi juga dalam berbagai macam urutan, termasuk dari atas ke bawah. Para peneliti menemukan disfungsi ini disebabkan oleh kondisi dari biokimia otak yang tidak stabil dan juga dalam beberapa hal akibat bawaan keturunan dari orangtua. Ini menyebabkan sang anak merasa malu dan tak percaya diri untuk hadir di antara teman-teman di kelasnya. Peluang disleksia untuk dijumpai pada anak laki-laki dan perempuan sama besarnya. Namun, ada juga kejadian disleksia lebih tinggi pada anak laki-laki dibandingkan dengan perempuan yaitu berkisar 2:1 sampai 5:1. Ada juga yang mengatakan bahwa ternyata tidak terdapat perbedaan angka kejadian antara laki-laki dan perempuan.

"Bila Anda disleksia, anak Anda berpeluang untuk mengalaminya 50 persen," ujar Dr John Rack dari lembaga Dyslexia Action, dikutip dari situs FemaleFirst.
Menurut John, diagnosa disleksia biasanya dilakukan pada usia 7-8 tahun. Namun, sebenarnya gejala disleksia bisa dilihat sejak usia 3-4 tahun.
Tanda-tanda disleksia pada usia pra sekolah antara lain:

· Suka mencampur adukkan kata-kata dan frasa

· Kesulitan mempelajari rima (pengulangan bunyi) dan ritme (irama)

· Sulit mengingat nama atau sebuah obyek

· Perkembangan kemampuan berbahasa yang terlambat

· Senang dibacakan buku, tapi tak tertarik pada huruf atau kata-kata

· Sulit untuk berpakaian

Adapun tanda-tanda disleksia di usia sekolah dasar:

· Sulit membaca dan mengeja

· Sering tertukar huruf dan angka

· Sulit mengingat alfabet atau mempelajari table

· Sulit mengerti tulisan yang ia baca

· Lambat dalam menulis

· Sulit konsentrasi

· Susah membedakan kanan dan kiri, atau urutan hari dalam sepekan

· Percaya diri yang rendah

· Masih tetap kesulitan dalam berpakaian

Bila seorang anak didiagnosa disleksia, ia harus mendapat dukungan ekstra di sekolahnya dari seorang guru spesialis. Biasanya ini bisa dilakukan dengan bantuan intens dalam pelajaran membaca dan menulis. Tetapi disleksia tak harus menghentikan anak-anak untuk terus belajar. Ia tak akan menimbulkan efek pada intelijensinya, karena otak mereka bekerja dengan cara yang berbeda. Bahkan beberapa penderita disleksia memiliki kreativitas yang tinggi, kemampuan berbicara yang baik, pemikir inovatif atau pencari solusi yang intuitif.

Adapun dukungan yang dapat dilakukan orang tua di rumah adalah:

· Bacakan buku dan bantu mereka saat hendak membaca buku sendiri

· Untuk usia pra sekolah, ajarkan rima, bermain game kata-kata dan puzzle juga akan membantu.

· Ajarkan dan latih bersama bagaimana mengenakan pakaian

· Jangan memfokuskan pada kelemahannya, dukung kegiatan yang disenangi

· Bantu untuk mengerjakan PR

· Tingkatkan kepercayaan diri mereka

· Berikan suplemen minyak ikan yang mengandung omega-3 dan Omega-6 sehingga dapat meningkatkan konsentrasinya saat membaca dan menulis


Penilaian Membaca


Membaca dinilai berdasarkan analisis, kefasihan dan pemahaman. Tes yang dapat digunakan untuk menilai fonologi anak adalah Comprehensive Test of Phonological (CTOPP). Tes ini mencakup kepekaan fonologik, analisa fonologik dan menghapal. Tes ini telah distandarisasi di Amerika Serikat untuk anak usia 5 tahun sampai dewasa.

Pada anak usia sekolah salah satu tes yang penting adalah menilai apakah anak tersebut dapat menganalisis kata. Tes yang digunakan adalah Woodcock-Johnson III dan Woodcock Reading Mastery Test. Kefasihan berbicara dinilai dengan Gary Oral Reading Test. Untuk menilai kecepatan membaca suatu kata digunakan Test of World Reading Efficiency (TOWRE).

Sebagai uji tapis bagi para dokter, disarankan untuk mendengarkan dengan seksama saat anak membaca yang sesuai dengan usianya.


Pemeriksaan Fisis dan Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan fisis memiliki peran yang sangat terbatas dalam mendiagnosis disleksia. Gangguan sensori primer harus disingkirkan. Pemeriksaan neurologik pada penderita disleksia biasanya normal.

Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan radiologis, elektroensefalografi dan analisis kromosom hanya dilakukan jika terdapat indikasi klinis. Pada kasus tertentu, pemeriksaan genetik harus dilakukan jika terdapat indikasi klinis. Pada kasus tertentu, pemeriksaan genetik harus dilakukan mengingat terdapat kelainan genetik seperti sindrom Klinefelter yang berhubungan dengan kesulitan bahasa dan mambaca.


Sumber Referensi :

Darmawan, Indra. 2009. Bila Anak Disleksia. www.kosmo.vivanews

Disleksia pada Anak. www.balita-anda.com